A. Pengertian Perceraian
Anak-anak diperkawinan orang tua yang menyedihkan, kurang
bekerjasama dalam bermain dan mempunyai lebih banyak interaksi negatif
dengan teman-teman bermain mereka dari pada anak-anak yang orang tua bahagia
perkawinannya.
Selama perpisahan dan perceraian orang tua dan juga 2 tahun pertama
setelah perceraian tersebut, sebagai masa ganggu serius terhadap hubunganhubungan
orang tua dengan anak. Selama periode ini orang tua yang terlalu
disibukkan atau yang emosinya terganggu dan seorang anak yang sedih serta
banyak menuntut, besar kemungkinannya menghadapi kesulitan untuk saling
mendukung atau saling menghibur dan barang kali bahkan yang memperparah
kesulitan masing-masing.
Banyak ilmuwan sosial lain telah membuat penemuan-penemuan
serupa tentang masalah-masalah tingkah laku diantara anak-anak dari perkawinanperkawinan
yang bermasalah. Kalau dikumpulkan bersama-sama penelitian ini
membuktian bahwa perceraian dan konflik perkawinan dapat menempatkan anakanak
pada suatu lintasan yang menjurus pada masalah-masalah berat dikemudian
hari. Kesulitan dapat dimulai pada awal masa kanak-kanak dengan keterampilanketerampilan
pergaulan yang buruk dan tingkah laku garang, yang menjurus pada
penolakan oleh rekan sebaya, orang tua, karena terganggu oleh masalah-masalah
mereka sendiri. Kurang waktu serta perhatiannya bagi anak-anak mereka. Jadi,
anak-anak itu larut, tanpa terawasi menuju ke sebuah kelompok rekan sebaya
yang lebih bandel. Pada awal masa remaja, banyak anak dari keluarga-keluarga
yang retak telah tersandung ke dalam sarang lebah malapetaka kaum remaja,
termasuk nilai-nilai yang merosot, tingkah laku seksual terlampau dini,
penggunaan obat-obat terlarang dan tindakan kejahatan. Ada pula sejumlah bukti,
meskipun tidak begitu kuat, bahwa anak-anak dari keluarga-keluarga dengan
tingkat konflik dan perceraian yang tinggi mengalami lebih banyak depresi,
kecemasan dan menarik diri.
Salah satu studi yang dilakukan oleh Hetherington dari university of
virginia menemukan bahwa laju masalah kesehatan mental yang secara teknis
nyata hampir 3x lipat lebih tinggi pada kaum remaja dari rumah tangga yang
bercerai bila dibandingkan dengan kaum remaja dari polusi pada umumnya.
Ilmuwan sosial mengajukan berbagai macam teori mengenai sebab
mengapa anak kecil dari keluarga yang penuh konflik mempunyai lebih banyak
persoalan tingkah laku serta lebih banyak kesulitan dalam hubungan dengan
teman sebaya. Ada yang menyarankan bahwa orang tua yang terlibat perselisihan
dengan pandangan hidup mereka atau mantan pasangan hidup mereka kekurangan
energi dan waktu untuk anak-anak mereka. Selain memberi asuhan yang buruk,
banyak pakar berpendapat bahwa orang tua dalam perkawinan yang bermasalah
menjadi contoh buruk bagi anak-anak mereka mengenai bagaimana bergaul
dengan orang lain.
Tidak dapat disangkal bahwa anak-anak menjadi sedih dan bila mereka
menyaksikan perkelahian orang tuanya. Studi telah membuktikan bahwa, bahkan
anak-anak yang kecil bereaksi terhadap perselisihan dewasa dengan mengalami
perubahan fisiologis seperti meningkatnya detak jantung serta tekanan darah. Jahli
psikologi E. Mark Cummings yang mengamati reaksi anak terhadap perkelahian
orang tua, mencatat bahwa lazimnya anak-anak menanggapi dengan menangis.
Berdiri termenung dengan tegang, menutup telinga-telinga mereka,
mengernyitkan dahi mereka atau minta izin pergi. Ahli lain mengamati reaksi
stres nonverbal terhadap amarah dalam anak-anak umum 6 bulanan.
Kenyataannya bahwa sebagian besar anak yang telah dewasa dari
orang tua yang bercerai itu terasingkan dari sekurang-kurangnya salah satu orang
tua dan minoritas cukup besar diantaranya terasingkan dari ke 2 orang tuanya.
Menurut pendapat saya merupakan sebab yang sah bagi keprihatinan masyarakat.
itu berarti bahwa banyak anak muda ini sangat rentan terhadap pengaruhpengaruh
diluar keluarga, seperti dari teman laki-laki atau teman wanita atau
teman-teman sebaya.
Pada umumnya bila orang tua saling mendukung dan mengerti,
mekerlah kecerdasan emosional anak mereka. Tapi, anak-anak yang terusmenerus
terkena permusuhan orang tua mereka barang kali akan menghadapi
resiko-resiko yang parah. Jika memperhatikan tingkah laku negatif yang terbuka
oleh anak-anak yang sedang kami amati itu. Interaksi seperti bertengkar,
mengancam, memberi sebutan jelek, ngerumpi dan serangan fisik, tingkah laku
negatif dan anti sosial merupakan alasan penting mengapa anak-anak ditolak oleh
teman-teman sebaya pada awal masa kanak-kanak kami juga tahu bahwa
kegagalan seorang anak kecil untuk menjalin persahabatan merupakan indikator
utama resiko seorang anak menderita masalah psikiatri.
Peristiwa perceraian itu menimbulkan berbagai akibat terhadap orang
tua dan anak. Tercipta sebagai orang tua mereka tidak lagi memperlihatkan
tanggung jawab penuh dalam mengasuh anak. Pada tahun pertama setelah
perceraian, orang tua menjadi kurang dekat dengan anaknya, meski banyak waktu
tersedia untuk itu. Orang tua menjadi tegas lagi dan kurang melatih anaknya
bersikap tanggung jawab. Keadaan ini jauh berbeda dengan keluarga utuh yang
orang tuanya bersikap tegas dalam mendewasakan anaknya.
Hetheringtons dan koleganya (Save M Dagun, 2002 : 119)
mengadakan tes pada kelompok yang belum usia sekolah pada saat terjadinya
peristiwa perceraian. Tes ini dilakukan pada waktu anak bermain dan pada saat
berinteraksi sosial dengan teman. Hetheringtons menemukan bahwa konflik
keluarga itu menimbulkan pengaruh terhadap sikap bermain anak. Pengaruh
sampingan lain adalah terganggunya pergaulan dengan teman sebaya. Akibat yang
lebih jauh lagi dapat menjadi alasan penting terhambatnya perkembangan anak.
Anak berkembang tidak stabil terutama ketika bergaul dengan teman-temannya.
Masa ini aku terus berlanjut sampai anak menginjak masa remaja dan interaksi
sosial sedikit terganggu pada masa dewasa.
Hetheringtons (Save M Dagun, 2002 : 120) mengamati perilaku bermain anakanak
dari keluarga cerai dan keluarga utuh, baik di dalam kelas dan ditempat lain
diperoleh keterangan, ternyata jelas dengan terjadinya perubahan sikap. Setelah 2
bulan peristiwa perceraian itu berlalu, mereka tampak kurang imajinatif, dan daya
kreatif berkurang.
Keadaan ini bebeda dengan anak dari keluarga utuh yang tetap
memperlihatkan kegairahan dan semangat. Anak dari keluarga retak berbuah
menjadi canggung menghadapi realitas sebenarnya. Kadang-kadang mereka mulai
berfantasi yang tinggi-tinggi memimpikan menjadi orang tenar. Mereka
menerawang jauh, tidak lagi menerima kenyataan berkurangnya daya imajinasi
anak pada saat bermain akan sangat berpengaruh pada perkembangan sosial dan
perkembangan kognitifnya.
Menurut Singger (Save M Dagun, 2002 : 120) kemahiran berfantasi
pada saat bermain sangat penting. Daya imajinasi pada saat bermain dapat
dianggap sebagai faktor yang besar, yang mempengaruhi perkembangan kognitif
anak, perasaan, dan perkembangan sosial. Daya imajinasi jauh lebih penting dari
pada sikap reaksi anak terhadap suatu respons. Sebab hal baru dengan lincah dan
dapat mengalihkan bentuk baru, dan jeli menggunakan bahan yang tersedia ia
menjadi ekspresif dalam rencana dan berbicara.
Faktor yang paling berat dalam kasus perceraian adalah bagaimana
memberikan pengaruh dan bagaimana memulihkan kembali hubungan yang baik
dan stabil, menciptakan keakraban bagi kedua orang tua. Pengaruh orang tua
dapat menciptakan kekuatan pada diri anak. Penggaruh ini akan tetap bertahan
sampai 5 tahun berikutnya. Kebiasaan mengunjungi masih penting bagi sebagian
besar anak. Meskipun demikian, kasus perceraian itu tetap membaca dampak
dalam perkembangan sosial dan emosi anak.
Banyak para peneliti menemukan bahwa anak yang diasuh satu orang
tua akan jauh lebih baik dari pada anak yang diasuh keluarga utuh yang diselimuti
rasa tertekan. Perceraian dalam keluarga, tidaklah selalu membawa dampak
negatif. Sikap untuk menghindari suatu konflik, rasa tidak puas. Perbedaan paham
yang terus-menerus, maka peristiwa perceraian itu satu-satunya jalan keluar untuk
memperoleh ketentraman diri.
Ada penelitian baru-baru ini yang memperlihatkan suatu yang penting
terjadi perubahan pola pandang dalam mengasuh anak yaitu menekankan kualitas
dalam pertemuan dengan anak, seperti menciptakan kehangatan, keintiman,
memberi dorongan sosial, menanamkan norma susila, dan lain-lain. Semua ini
merupakan pengalaman berharga bagi anak. Selain itu ayah ibu dan anak-anak
lebih memahami banyak hal jika mereka juga terbuka kepada banyak orang.
Beberapa anak tidak bisa terbatas dari dampak perceraian orang
tuanya. Perasaan terluka, marah, terabaikan dan tidak dicintai terus menetap
dihati bahkan sampai mereka dewasa oleh karena itu, penting bagi orang tua untuk
tetap menyayangi dan mencintai terus menetap dihati mereka bahkan sampai
mereka dewasa. Oleh karena itu, penting bagi orang tua untuk tetap menyayangi
dan mencintai anak-anak mereka walaupun perkawinan mereka telah berakhir.
Seorang anak mungkin akan mengalami beberapa emosi yang
umumnya selama dan sesudah perpisahan orang tuanya. Untuk menolongnya
mengatasi kehilangan tersebut, sangat penting bagi orang tua untuk menolong
mereka mengenali perasaan-persaan itu dan mengatasinya.
Menurut Kelly Cole (Kelly Cole, 2004 : 3) beberapa anak akan
mengalami efek-efek yang merugikan harga dirinya sehingga mereka
menganggap diri mereka sebagai anak yang “nakal” yang telah menyebabkan
perceraian orang tua mereka. Hal ini terutama terjadi pada anak-anak yang lebih
kecil cenderung egoisentris. Dalam pandangan seorang anak, segala sesuatu yang
terjadi disekelilingnya disebabkan oleh perilaku, pikiran dan harapan-harapannya.
Ia akan menyalahkan dirinya sendiri atas perceraian orang tuanya dan berfikir
bahwa ia tidak layak mendapatkan hal-hal baik dalam kehidupannya. Ia akan
sering merasa dirinya adalah seorang anak yang tidak beruntung dan kekurangan.
Menurut Dodi Ahmad Fauzi, S.Sos (Dodi Ahmad Fauzi, 2006 : I)
Perceraian dalam keluarga manapun merupakan peralihan besar dan penyesuaian
utama bagi anak-anak akan mengalami reaksi emosi dan perilaku karena
“kehilangan” satu orang tua. Bagaimana anak bereaksi terhadap perceraian orang
tuanya sangat dipengaruhi oleh cara orang tua berperilaku sebelum, selama dan
sesudah perpisahan. Anak akan membutuhkan dukungan, kepekaan, dan kasih
sayang yang lebih besar untuk membantunya mengatasi kehilangan yang
dialaminya selama masa sulit ini. Mereka mungkin akan menunjukkan kesulitan
penyesuaian diri dalam bentuk masalah perilaku, kesulitan belajar, atau penarikan
diri dari lingkungan sosial.
B. Faktor – Faktor Penyebab Perceraian
Menurut Dodi Ahmad Fauzi (Dodi Ahmad Fauzi, 2006 : 4), ada beberapa
faktor – faktor penyebab perceraian antara lain adalah sebagai berikut :
1. Ketidakharmonisan dalam rumah tangga
Alasan tersebut di atas adalah alasan yang paling kerap
dikemukakan oleh pasangan suami – istri yang akan bercerai.
Ketidakharmonisan bisa disebabkan oleh berbagai hal antara lain,
krisis keuangan, krisis akhlak, dan adanya orang ketiga. Dengan kata
lain, istilah keharmonisan adalah terlalu umum sehingga memerlukan
perincian yang lebih mendetail.
2. Krisis moral dan akhlak
Selain ketidakharmonisan dalam rumah tangga, perceraian
juga sering memperoleh landasan berupa krisis moral dan akhlak,
yang dapat dilalaikannya tanggung jawab baik oleh suami ataupun
istri, poligami yang tidak sehat, penganiayaan, pelecehan dan
keburukan perilaku lainnya yang dilakukan baik oleh suami ataupun
istri, misal mabuk, berzinah, terlibat tindak kriminal, bahkan utang
piutang.
3. Perzinahan
Di samping itu, masalah lain yang dapat mengakibatkan
terjadinya perceraian adalah perzinahan, yaitu hubungan seksual di
luar nikah yang dilakukan baik oleh suami maupun istri.
4. Pernikahan tanpa cinta
Alasan lainnya yang kerap dikemukakan oleh suami dan istri,
untuk mengakhiri sebuah perkawinan adalah bahwa perkawinan
mereka telah berlangsung tanpa dilandasi adanya cinta. Untuk
mengatasi kesulitan akibat sebuah pernikahan tanpa cinta, pasangan
harus merefleksi diri untuk memahami masalah sebenarnya, juga
harus berupaya untuk mencoba menciptakan kerjasama dalam
menghasilkan keputusan yang terbaik.
5. Adanya masalah-masalah dalam perkawinan
Dalam sebuah perkawinan pasti tidak akan lepas dari yang
namanya masalah. Masalah dalam perkawinan itu merupakan suatu
hal yang biasa, tapi percekcokan yang berlarut-larut dan tidak dapat
didamaikan lagi secara otomatis akan disusul dengan pisah ranjang.
Langkah pertama dalam menanggulangi sebuah masalah perkawinan
adalah :
1. Adanya keterbukaan antara suami – istri
2. Berusaha untuk menghargai pasangan
3. Jika dalam keluarga ada masalah, sebaiknya diselesaikan secara baikbaik
4. Saling menyayangi antara pasangan
PEMBAHASAN MASALAH
A. Bagaimanakah Pemahaman dan Perasaan Anak Usia Pra Sekolah
Tentang Perceraian ?
1. Pemahaman :
Anak usia pra sekolah mengetahui bahwa satu orang tua tidak lagi
tinggal dirumah
2. Perasaan :
a. Mungkin anak menyalahkan diri sendiri atas perceraian tersebut.
b. Mendapat lebih banyak mimpi buruk.
c. Menunjukkan tanda kesedihan dan kemurungan karena
ketidakhadiran satu orang tua.
d. Anak pra sekolah bisa menjadi agresif dan marah kepada orang tua
yang mereka salahkan.
e. Karena anak pra sekolah berjuang dengan perbedaan antara fantasi
dan realitas, anak-anak bisa memiliki fantasi yang kaya tentang
bersatu kembalinya orang tua.
B. Apa yang Dapat Dilakukan Untuk Membantu Anak-Anak Pra Sekolah
Mengatasi Dampak Perceraian ?
Menurut Kelly Cole (Kelly Cole, 2004 : 16) anak-anak pada tingkatan
ini sering kali bingung tentang penyebab perceraian. Anak pra sekolah dan
anak yang besar pada umumnya merenungkan hal ini dan kemungkinan
menyalahkan diri sendiri karena “mengusir” orang tuanya. Mereka dapat
berubah menjadi sangat penurut, dan melakukan hal-hal yang manis untuk
menyenangkan orang tuanya dengan harapan mereka kembali. Mereka
mungkin memiliki gagasan semacam “jika aku benar-benar baik, ibu dan ayah
akan kembali bersama lagi”.
Penting bagi orang tua untuk meyakinkan si anak bahwa perceraian
bukan karena ulahnya. Beberapa anak menjadi agresif dan kasar. Orang harus
mengambil tindakan segera untuk membatasi perilaku semacam itu dan
menerapkan langkah-langkah pendisiplinan yang tepat seperti yang akan
mereka lakukan dalam keluarga yang normal. Anak harus belajar
mengungkapkan amarahnya dengan cara yang lebih dapat diterima. Orang tua
yang mendisiplinkan anaknya dari perilaku agresif sebenarnya membantu
anak merasa aman dengan menahan emosi yang membingungkan ini. Orang
tua sebaiknya mencari cara yang lebih sehat lagi bagi anak untuk
mengungkapkan amarahnya. Seperti berbicara dengan orang dewasa akan
mengungkapkan lewat seni. Membaca dari buku- buku cerita juga dapat
membantu anak kecil memahami perasaan marah, sedih dan takut.
Tekanan perceraian juga dapat menyebabkan anak merespons dengan
menunjukkan perilaku masa kecil seperti mengompol, ledakan amarah dan
kemanjaan. Meskipun perilaku semacam ini bisa menimbulkan frustasi.
Orang tua harus waspada bahwa ini adalah mekanisme yang digunakan anak
kecil untuk mengatasi trauma kehilangan satu orang tua. Pada dasarnya,
perilaku regresif membantu si anak mundur secara mental hingga ia dapat
menghadapi emosional.
C. Bantuan Apa yang Dapat Diberikan Guru ?
Guru cukup berpengalaman dalam menangkap sesuatu yang salah
dengan seorang anak. Beberapa orang tua mungkin akan menemukan
kesulitan untuk mengatakan yang sejujurnya pada seorang guru, tapi mereka
harus ingat bahwa beberapa guru mengabaikan urusannya sendiri untuk
memastikan agar anak-anak dari keluarga broken home mendapat cukup
perhatian dan perbaikan.
Guru dapat menjadi orang tua jika si anak mengalami perubahan
perilaku kesulitan akademik. Jika orang tua dan guru dapat segera turun
tangan, mereka dapat membantu anak untuk menyesuaikan diri lebih baik
terhadap perceraian tersebut. Bagi seorang guru dia harus menjaga
kerahasiaan persoalannya.
Guru dapat menyarati kelebihan seorang anak dan melibatkannya
dalam bidang-bidang yang dikuasainya supaya dia dapat bekerjasama dengan
orang tua untuk membentuk batasan bagi anak yang telah berlaku
mengganggu di kelas sebagai akibat dari perceraian orang tuanya.
A. Kesimpulan
Setelah penulis menerangkan tugas akhir ini penulis dapat
menyimpulkan bahwa :
1. Beberapa anak tidak bisa terbebas dari dampak perceraian orang
tuanya, perasaan terluka, marah, terabaikan dan tidak dicintai terusmenerus
anak-anak mereka. Oleh karena itu, penting bagi orang tua
untuk tetap menyayangi dan mencintai anak-anak mereka,
walaupun perkawinan mereka telah berakhir.
Seorang anak mungkin akan mengalami beberapa emosi yang
umum selama dan sesudah perpisahan orang tuanya. Untuk
menolongnya mengatasi kehilangan tersebut, sangat penting bagi
orang tua untuk menolong mereka mengenali perasaan-persaan itu
dan mengatasinya.
2. Beberapa anak mengidolakan orang tuanya. Ketika hal-hal tidak
berjalan lancar diantara keduanya. Si anak akan dapat menerima
bahwa, orang tuanya yang “sempurna” bisa membuat kesalahan
dan dia lebih mudah untuk menyalahkan dirinya sendiri akibatnya
si anak terbebani dengan rasa bersalahnya, dan membangun kesan
diri yang negatif. Bagi anak, kedudukan orang tua tidak tergantikan
ketika satu orang tua pergi, Si anak mungkin akan berfikir bahwa
20
orang tuanya tak lagi peduli dengannya. Ini membuatnya merasa
ditolak dan tidak dicintai, kesedihannya dapat diekspresikan dalam
bentuk tangisan dan sikap murung. Dia anak menjadi pendiam dan
lesu dan sering melamun.
3. Di sekolah, amarah ini bisa diekspresikan melalui tindakantindakan
seperti : melempar benda-benda atau memukul
temannya. Beberapa tindakan ini hanya sebagian dari perwujudan
betapa bahagianya anak-anak korban perceraian ini.
B. Saran
1. Bagi orang tua, sebaiknya sebelum orang tua memutuskan bercerai, orang
tua menemui psikolog atau berbicara dengan orang yang dianggap bisa
memberikan solusi yang terbaik dan memikirkan apakah dampak akibat dari
perceraian tersebut dapat diterima anak mereka ?
2. Orang tua sebaiknya memikirkan sejauh mana anak-anak terpengaruh
perceraian orang tuanya ?
3. Sebaiknya bila di sekolah, antara orang tua dan guru dapat berkomunikasi
dengan lancar agar si anak dapat menyesuaikan diri lebih baik terhadap
perceraian tersebut.