PERSINGGUNGAN FIKIH DENGAN PASAL 39 UNDANG-UNDANG NOMOR 1 TAHUN 1974 TENTANG PERKAWINAN DAN PASAL 34 PERATURAN PEMERINTAH NOMOR 9 TAHUN 1975 DALAM MASALAH TALAK DI BAWAH TANGAN

Oleh : Mahruddin Andry.(Pegawai PA. Sidikalang) 

Pendahuluan :
Judul tersebut di atas terinspirasi dari sebuah masalah yang diajukan oleh Mahkamah Syar’iyah
Provinsi Nangroe Aceh Darussalam kepada Mahkamah Agung Republik Indonesia kemudian
diedit dan dibukukan dalam sebuah buku Himpunan Tanya Jawab Permasalahan Dan Paparan
Pada Rapat Kerja Nasional MARI Dengan Jajaran Pengadilan pada 4 (empat) Lingkungan
Peradilan Seluruh Indonesia tahun 2007 dan tahun 2008, sub bidang: Permasalahan Hukum Dari
Daerah Dan Jawaban Bidang Agama yang berbunyi sebagai berikut:
Perkara cerai talak yang diajukan seorang suami terhadap isterinya, sementara suaminya
sebenarnya telah menceraikan isterinya secara liar (di bawah tangan) sebanyak tiga kali yang
dijatuhkan terpisah dalam tiga kali kejadian. Dalam persidangan, keduanya berkeinginan rujuk
kembali karena mengingat masa depan anak-anak.
Bagaimana cara Pengadilan menjatuhkan putusan ? Bila Pengadilan menganggap tidak ada talak
tiga, maka akan bertentangan dengan hati nurani karena mereka telah menjatuhkan talak dengan
tata cara syariat Islam. Seandainya Pengadilan memberi putusan agar suami menjatuhkan talak
yang ketiga, maka akan kuat dugaan mereka tidak akan datang dalam persidangan. Bagaimana
jalan keluarnya?
Mahkamah Agung memberi jawaban sebagai berikut :
Talak di luar Pengadilan tidak sah, lihat ketentuan pasal 39 Undang-undang Nomor 1 tahun 1974
tentang Perkawinan dan pasal 34 Peraturan Pemerintah Nomor. 9 tahun 1975.(MARI. 120:2007).
Pengertian Talak Dalam Prespektif Kefikian.
Talak dalam bahasa Indonesia diartikan perceraian yang artinya terputusnya tali perkawinaan
yang sah akibat ucapan cerai suami terhadap istrinya. Maksudnya adalah perceraian karena talak
adalah seorang suami yang menceraikan isterinya dengan menggunakan kata-kata cerai atau
talak atau kalimat lain yang mengandung arti dan maksud menceraikan isterinya, apakah talak
yang diucapkan itu talak satu, dua atau tiga dan apakah ucapan talak itu diucapkan talak dua atau
tiga sekaligus pada satu kejadian atau peristiwa, waktu dan tempat yang berbeda. Para ahli
hukum Islam (fukaha) berpendapat bahwa bila seseorang mengucapkan kata-kata talak atau
semisalnya terhadap isterinya maka talaknya dianggap sah dan haram hukumnya bagi keduanya
melakukan hubungan biologis sebelum melakukan rujuk atau ketentuan hukum lain yang
membolehkan mereka bersatu sebagai suami isteri. Para fukaha berbeda pendapat tentang katakata
talak atau semisalnya yang diucapkan oleh suami kepada isteri dalam kondisi sadar atau
tidak misalnya suami dalam kondisi mabuk, atau karena suami dalam kondisi tidak tenang atau
ketika dalam kondisi marah yang dipicu adanya pertengkaran yang dapat menghilangkan
keseimbangan jiwa suami atau karena dalam kondisi dipaksa.
Abdul Aziz Dahlan et.al dalam buku Ensiklopedi Hukum Islam menjelaskan bahwa talak dalam
bahasa arab artinya melepaskan dan meninggalkan suatu ikatan.
2 Dalam istilah hukum talak adalah perceraian ……antara suami isteri atas kehendak suami (
Abdul Aziz Dahlan et.al 1996:1776 ).
Sayyid Sabiq dalam Fiqh as Sunnah memberi definisi bahwa talak dalamterminology bahasa
adalah “ al-irsalu wa al-taraku” artinya melepaskan dan meninggalkan. Sedangkan menurut
istilah hukum talak adalah “ hillu rabithatin al zuwaj “ artinya melepaskan ( ikatan ) tali
perkawinan. ( Sayyid Sabiq 1975:241)
Ulama fikih ( fukaha) berpendapat bahwa talak dibagi kepada dua macam yaitu :
1. Talak sunni, adalah talak yang dijatuhkan suami sesuai dengan petunjuk yang disyariatkan
Islam, yaitu :
a. Menalak isteri harus secara bertahap ( dimulai dengan talak satu, dua dan tiga ) dan diselingi
rujuk.
b. Isteri yang ditalak itu dalam keadaan suci dan belum digauli dan
c. Isteri tersebut telah nyata-nyata dalam keadaan hamil.
2. Talak bid’i adalah talak yang dijatuhkan suami melalui cara-cara yang tidak diakui syariat
islam yaitu:
a. Menalak isteri dengan tiga kali talak sekaligus,
b. Menalak isteri dalam keadaan haidh,
c. Menalak isteri dalam keadaan nifas, dan
d. Menjatuhkan talak isteri dalam keadaan suci tetapi telah digauli sebelumnya, padahal
kehamilannya belum jelas.
Ulama fikih juga sepakat menyatakan bahwa menjatuhkan talak bid’i hukumnya haram dan
pelakunya mendapat dosa. Akan tetapi apabila terjadi juga seperti tersebut di atas, maka jumhur
mengatakan talaknya tetap jatuh. Alasan mereka adalah talak bid’I itupun termasuk dalam
keumuman ayat-ayat yang berbicara tentang talak, seperti surah al- Baqarah ayat 229-230, at-
Talak ayat 1-2, dan hadits Nabi SAW dalam kasus Abdullah bin Umar yang menjatuhkan talak
terhadap isterinya yang sedang haid. Rasulullah bersabda “Suruh dia kembali pada isterinya
sampai ia suci, kemudian suci, lalu suci lagi setelah itu jika ia ingin menceraikan isterinya itu,
dan jika ingin menalak juga lakukanlah ketika itu (ketika suci belum digauli ( H.R. Muslim, Abu
Dawud , Ibnu Majash dan an Nasa’i ) ( Abdul Azizi Dahlam et.al 1996:1783)
Pengertian Talak Dalam Hukum Positif.
Dalam Undang-undang Nomor 1 tahun 1974 tentang Perkawinan (UU No.1/1974) dan Peraturan
Pemerintah Nomor. 9 Tahun 1975( PP.No 9/1975 ) tentang Pelaksanaan UU No.1/1975 dalam
pengertian umum tidak terdapat definisi talak, kecuali definisi talak dapat dilihat pada pasal 117
Kompilasi Hukum Islam ( KHI ) yang berbunyi sebagai berikut :
“Talak adalah ikrar suami di hadapan sidang Pengadilan Agama yang menjadi salah satu sebab
putusnya perkawinan, dengan cara sebagaimana dimaksud dalam pasal 129,130 dan 131”
Bunyi pasal 129 KHI berbunyi sebagai berikut :
“Seorang suami yang akan menjatuhkan talak kepada isterinya mengajukan permohonan baik
lisan maupun tertulis kepada Pengadilan Agama yang mewilayahi tempat tinggal isteri dengan
alasan serta meminta agar diadakan sidang untuk keperluan itu “
Pasal 130 KHI berbunyi sebagai berikut :
“Pengadilan Agama dapat mengabulkan atau menolak permohonan tersebut dan terhadap (ke)
putusan tersebut dapat diminta upaya hukum banding dan kasasi “.
Sedangkan bunyi pasal 131 KHI berbunyi :
3 “Pengadilan Agama yang bersangkutan mempelajari permohonan dimaksud pasal 129 dalam
waktu selambat-lambatnya tiga puluh hari memanggil pemohon dan isterinya untuk meminta
penjelasan tentang segala sesuatu yang berhubungan dengan maksud menjatuhkan talak”.
Pasal 39 ayat (1) UU. No.1/1974 menyatakan bahwa :
“ Perceraian hanya dapat dilakukan di depan Sidang Pengadilan setelah Pengadilan yang
bersangkutan berusaha dan tidak berhasil mendamaikan kedua belah pihak”.
Pasal 66 UU. No.1/1974 berbunyi sebagai berikut :
Ayat (1) Seorang suami yang beragama Islam yang akan menceraikan isterinya mengajukan
permohonan kepada Pengadilan untuk mengadakan sidang guna menyaksikan ikrar talak.
Ayat (2) Permohonan sebagaimana yang dimaksud dalam ayat (1) diajukan kepada Pengadilan
yang daerah hukumnya meliputi tempat, kecuali apabila termohon dengan sengaja meninggalkan
tempat kediaman yang digunakan bersama tanpa izin pemohon.
Menurut pasal 14 PP Nomor 9/1975 dinayatakan bahwa :
Seorang suami yang telah melangsungkan perkawinan menurut Agama Islam, yang akan
menceraikan isterinya, mengajukan surat kepada Pengadilan di tempat tinggalnya, yang berisi
pemberitahuan bahwa ia bermaksud menceraikan isterinya dengan alasan alasannya serta
meminta kepada Pengadilan agar dilaksanakan untuk keperluan itu.
Pasal tersebut di atas secara lex spesialis ditujukan kepada suami yang akan menceraikan
isterinya, sedangkan pasal 34 PP Nomor 9/1975 merupakan lex spesialis yang menjelaskan bagi
isteri yang menggugat suaminya. Pasal tersebut berbunyi sebagaiberikut :
Ayat (1) Putusan mengenai gugatan perceraian diucapkan dalam sidang terbuka.
Pasal (2) Suatu perceraian dianggap terjadi beserta akibat-akibatnya terhitung sejak saat
pendaftarannya pada daftar pencatatan pada kantor pencatatan oleh Pegawai Pencatat, kecuali
bagi mereka yang beragama Islam terhitung sejak jatuhnya putusan Pengadilan Agama yang
telah mempunyai kekuatan hukum yang tetap.
Dengan demikian penulis maksudkan judul di atas bukan pasal 34 PP Nomor 9 /1975 namun
pasal 14 PP Nomor 9/1975.
Dari pengertian fikih dan hukum positif maka talak mempunyai kesamaan dan perbedaan sebagai
berikut :
a. Kesamaannya, pengertian talak dalam fikih, UU No. 1/1974 dan dalam KHI yaitu talak
diucapkan oleh suami kepada isteri,
b. Perbedaannya, dalam fikih talak diucapkan oleh suami pada waktu dan tempat yang tidak
tertentu, sedangkan dalam KHI dan UU No.1/1974 setelah permohonan izin menceraikan
(mentalak) isterinya dikabulkan oleh Pengadilan dan pengucapan talak harus dilakukan di depan
sidang Pengadilan.
Kesaksian Talak Menurut Ahli Fikih dan Menurut Hukum Positif.
Kalangan mazhab Hanafi, Maliki, Syafi’i (kecuali pada qaul qadimnya Imam Syafi’i
berpendapat bahwa pengucapan talak seorang suami terhadap isterinya memerlukan dua
orang saksi ) dan Hanbali berpendapat bahwa pengucapaan talak seorang suami terhadap
isterinya tidak perlu adanya saksi, alasan mereka berpendapat demikian karena talak merupakan
hak mutlak seorang suami terhadap isterinya, sedangkan suami yang akan menjatuhkan talak
terhadap isterinya itu tidak dituntut untuk menghadirkan saksi, selain itu mereka berpendapat
tidak ada satu dalilpun yang menunjukkan bahwa seorang suami dalam menjatuhkan talak
terhadap isterinya memerlukan saksi.
4 Berbeda halnya dengan ulama Syi’ah Imamiyah mereka berpendapat bahwa seorang suami
yang akan menjatuhkan talak terhadap isterinya perlu disaksikan oleh dua orang saksi dengan
mengambil argumerntasi pengertian secara umum surah at Talak (65) ayat 2 (Abdul Aziz Dahlan
et.al 1996:1783) yang berbunyi sebagai berikut :
“….. wa asyhiduu dzawai adlin minkum wa aqiimuu asy syahadata
lillahi “ artinya :…. Dan persaksikanlah dengan dua orang saksi yang adil
di antara kamu, dan hendaklah kamu tegakkan kesaksian itu karena Allah…..( Q.S. at-Talak ayat
2).
Imam Abu Dawud menceritakan bahwa Imran bin Husain pernah ditanya tentang seseorang yang
menjatuhkan talak isterinya tanpa saksi, kemudian ia rujuk dengan isterinya itu tanpa saksi pula.
Imran bin Husain ketika itu menyatakan “ dia talak isterinya tidak sesuai dengan sunah
(Rasulullah) dan dia kembali kepada isterinya tidak sesuai dengan sunnah. Persaksikanlah
talaknya itu dan persaksikan pula rujuknya.
Menurut pasal 66 ayat (1) UU No.1/1974 sebagaimana yang penulis kutip di atas maka talak
yang akan diucapkan oleh suami terhadap isterinya selain setelah mengikuti sidang-sidang dan
mendapat izin dari Pengadilan, maka Pengadilan membuka sidang guna penyaksian terhadap
suami yang akan menjatuhkan talak terhadap isterinya.
Tampaknya pembuat Undang-undang pencantuman pasal 66 ayat (1) UU No.1/1974 diilhami
pendapat ulama Syi’ah dan (qaul qadimnya Imam Syafi’i) yang mensyaratkan adanya dua orang
saksi bila seseorang akan menceraikan/mentalak isterinya.
Dari uraian tersebut di atas maka menurut fikih dan hukum positif ada perbedaan dan kesamaan
tentang seseorang yang akan menceraikan isterinya yaitu :
a. Persamaannya, menurut ulama Syi’ah Imamiyah (termasuk qaul qadimnya Imam Syafii) dan
hukum positif bahwa seseorang dalam mengucapkan/mentalak isterinya perlu adanya saksi.
b. Perbedaannya, bahwa jumhur ulama mengatakan, pengucapan talak seorang suami terhadap
isterinya tidak perlu adanya saksi, sedangkan dalam hukum positif menyatakan bahwa dalam
menjatuhkan talak seorang suami terhadap isterinya diperlukan saksi
Tindakan Pengadilan Terhadap Perkara Cerai Talak di Bawah Tangan Sementara
Pihak Berperkara Akan Rujuk.
Terhadap pertanyaan dari Mahkamah Syar’iyah Provinsi NAD kepada Mahkamah Agung RI
yang dikutip pada awal tulisan ini, maka Pengadilan (Hakim) dalam memeriksa perkara tersebut
haruslah bijaksana. Dari satu sisi sebagai muslim hukum fikih yang berjalan dan hidup di tengahtengah
masyarakat muslim di Nangroe Aceh Darussalam perlu mendapat apresiasi, karena
sebagai muslim yang patuh terhadap ajaran agamanya perlu mendukung hukum yang hidup di
masyarakat terutama sekali hukum syari’ah. Dari sisi lain sebagai muslim plus sebagai hakim
Negara wajib untuk
menegakkan hukum yang berlaku di Negara Kesatuan Republik Indonesia termasuk Undangundang
dan peraturan lain tentang perkawinan. Dalam Islam seorang suami yang akan
menceraikan/mentalak isterinya haruslah mengetahui rukun dan syarat dalam melakukan talak
terhadap isteri yang akan diceraikannya.
Kalangan ahli fikih kontemporer seperti Muhammad Abu Zahra, Ali Hasbalah, Ali Al-Khalif,
Mustafa As-Siba’i , Mustafa Ahmad az Zarqa, Abdur Rahman As-Sabuni dan Sayid Sabiq
berpendapat bahwa kesaksian dalam talak sangat logis, sehingga terjadi keseimbangan (tawazun)
kepentingan kesaksian dalam masalah perkawinan dan perceraian.
5 Mereka-mereka yang penulis sebutkan di atas berpendapat bahwa “dalam perubahan situasi
dan kondisi yang diakibatkan perkembangan zaman, persoalan saksi semakin penting karena
waziib ad-diin (tanggung jawab religius) masing-masing suami semakin melemah, sehingga
dikhawatirkan talak tersebut dapat digunakan secara sewenang-wenang.” (A.Z. Dahlan
1996:1783).
UU. No.1/1974, PP. No.9/1975 dan KHI tidak mentolerir adanya perceraian di bawah tangan, hal
itu dimaksudkan agar seorang suami tidak semena-mena menceraikan isterinya tanpa adanya
aturan yang harus dipedomani. Lalu bagaimana tindakan hakim dalam memproses perkara yang
ditangani atas kasus yang diajukan oleh Mahkamah Syariyah Provinsi Nangroe Aceh
Darussalam tersebut?. Karena yang diajukan itu ada beberapa pertanyaan maka solusinya sebagai
berikut:
a. Sesuai hukum acara yang berlaku bagi Pengadilan Agama dalam bidang perkawinan bahwa
selama perkara yang diajukan oleh pihak-pihak berperkara belum diputus, maka kewajiban
hakim untuk mengusahakan perdamaian secara maksimal.
Pasal 69 UU No.1/1974 menjelaskan bahwa : “ Dalam pemeriksaan perkara cerai talak ini
berlaku ketentuan-ketentuan pasal 79,pasal 80 ayat (2), pasal 82 dan pasal 83.
Pasal 82 UU no.1/1974 ayat (4) UU No.1/1974 berbunyi sebagai berikut:
“Selama perkara belum diputus, usaha mendamaikan dapat dilakukan pada setiap sidang
pemeriksaan”.
Dalam Kamus Umum Bahasa Indonesia kata “mendamaikan” berarti menyelesaikan permusuhan
(pertengkaran dan sebagainya) supaya kedua pihak berbaik kembali. (WJS Poerwadaminta
1985:234).
Kasus yang dikemukakan tersebut jelas bahwa kedua belah pihak berperkara akan mengakhiri
berperkara di Mahkamah Syar’iyah (bisa dibaca Pengadilan Agama), apakah tindakan pihakpihak
tersebut atas prakarsa atau upaya hakim dalam mendamaikan, ataukah karena inisiatif
pihak-pihak sendiri mengingat anakanaknya perlu mendapat perhatian dari orang tuanya.
Apalagi kalau pihak Termohon/isteri datang dalam persidangan, maka hakim sebelum
melanjutkan pemeriksaan menyarankan agar pihak-pihak menempuh proses mediasi sesuai
amanat Peraturan Mahkamah Agung RI Nomor 1 tahun 2008.
Nah, bila hal itu telah terjadi ( damai ) maka hakim menyarankan agar Pemohon/Penggugat
membuat pernyataan mencabut perkaranya (kalau pihak Termohon/Tergugat hadir maka
diperlukan persetujuannya) sehingga tidak ada alasan bagi hakim untuk melanjutkan
pemeriksaan atas perkara yang mereka ajukan ke Mahkamah Syar’iyah ( Pengadilan Agama ).
Kesimpulannya, apabila tercapai perdamaian maka perkara perceraian tersebut dicabut, untuk itu
hakim membuat penetapan yang menyatakan perkara telah dicabut karena perdamaian dan
menyatakan demi hukum (positif) para pihak masih dalam ikatan perkawinan yang sah
berdasarkan Akta Nikah yang dikeluarkan oleh Kantor Urusan Agama (KUA) Kecamatan yang
bersangkutan, di mana mereka dahulu melakukan perkawinannya. Penetapan yang semacam ini
tidak dapat dimintakan upaya hukum. (Mujahidin 2008:172)
b. Talak tiga yang sesuai dengan tata cara syari’at yang sempat diucapkan oleh pihak suami
terhadap isterinya (diluar sidang Mahkamah Syar’iyah/Pengadilan Agama) itu bukanlah
wewenang Mahkamah Syar’iyah/Pengadilan Agama justeru 6
Pengadilan tidak mentolerirnya, karena perceraian bisa terjadi bila dilakukan di depan sidang
Mahkamah Syar’iyah/Pengadilan Agama.
Pasal 65 UU No.1/1974 menyatakan bahwa “ Perceraian hanya dapat dilakukan di depan sidang
Pengadilan setelah Pengadilan yang bersangkutan berusaha dan tidak berhasil mendamaikan
kedua belah pihak “.
c. Benarkah bila Mahkamah Syar’iyah/Pengadilan menganggap tidak ada talak tiga, maka akan
bertentangan dengan hati nurani ? karena mereka telah menjatuhkan talak dengan tata cara
syariat Islam. Menurut pasal 65 dan 82 UU No.1/1974 jo pasal `115 KHI bahwa sebelum perkara
(perkawinan) belum final/diberi putusan maka hakim wajib untuk mendamaikan kedua belah
pihak yang berperkara.
Dalam mendamaikan bukan berarti bahwa hakim hanya berusaha agar pihakpihak mengakhiri
sengketanya dengan harapan dapat kembali rukun, damai tetapi mendamaikan diartikan lebih
dari itu, termasuk di dalamnya upaya mendamaikan itu hakim menasehati dan memberi arahan
kepada kedua belah pihak yang akan mengakhiri sengketanya, termasuk memberi arahan kepada
pihak-pihak terutama sekali kepada suami yang telah menjatuhkan talaknya secara liar (tanpa
prosedur yang diatur dalam Undang-undang). Karena Pemohon telah menjatuhkan talaknya yang
ketiga secara liar/di bawah tangan (talak bain kubra), maka hakim atau mediator memberi
nasehat-nasehat kepada pihak-pihak bahwa secara fikih Pemohon tidak dapat lagi rujuk kepada
isterinya sebelum isterinya menikah lagi dengan laki-laki lain dan bercerai setelah adanya
hubungan suami isteri.
Nah, karena perceraian itu dilakukan di bawah tangan, maka perkawinan isterinya terhadap
suami yang kedua tentu juga di bawah tangan, dan seterusnya dalam proses/langkah-langkah
seterusnya. Memang repot dan memang repot dan ribet, itulah konsekwensinya bagi masyarakat
yang tidak taat hukum.
d. Dapatkah Pengadilan memberi putusan agar suami menjatuhkan talak yang ketiga.?
Oleh karena pihak-pihak akan mengakhiri sengketanya maka hakim tidak ada alasan lagi untuk
melanjutkan pemeriksaan atas perkara a quo, bahkan sebaliknya hakim tidak dibenarkan
memberi putusan dan mengabulkan permohonan Permohon dengan memberi izin kepada
Pemohon untuk mengucapkan ikrar talak tiga, jelas hal itu tidak sesuai dengan Undang-undang,
justeru dalam produknya hakim wajib membuat penetapan bahwa perkara tersebut dicabut
karena telah terjadi perdamian, kemudian hakim memberitahukan kepada pihak-pihak bahwa
mereka tidak perlu datang lagi dalam persidangan karena pekaranya telah selesai dan diputus.
Kesimpulan :
Dari tulisan tersebut di atas maka dapat diambil suatu kesimpulan (konklusi ) bahwa:
1. Talak adalah perceraian yang dilakukan dan diucapkan oleh suami terhadap isterinya di depan
persidangan Pengadilan setelah Pengadilan memberi izin kepada suami (Pemohon).
2. Talak yang diucapkan di luar persidangan Pengadilan merupakan talak liar, keabsahannya
secara hukum tidak sah karena dianggap tidak pernah terjadi perceraian.
3. Perceraian/talak yang dijatuhkan atau diucapkan melalui putusan atau dalam sidang
Pengadilan dimaksudkan untuk membela hak kewajiban, status suami 7 isteri secara hukum,
sekaligus memberi pendidikan hukum agar perceraian/talak tidak sewenang-wenang dilakukan
tanpa adanya proses, pembuktian-pembuktian.
4. Sebagai hakim muslim perlu memberi pengertian kepada pihak-pihak yang telah menjatuhkan
talak liar ditinjau secara hokum serta memberi solusi terhadap perkara yang diajukan.
Penutup :
Sampai disini tulisan ini disajikan untuk dapat didiskusikan bagi yang berminat.


-DAFTAR BACAAN
1. Al Quranul Karim,
2. Abd Aziz et.al, Ensiklopedi Hukum Islam,
3. Kompilasi Hukum Islam,
4. Undang-undang Nomor 1 Tahun 1974,
5. Peraturan Pemerintah Nomor 9 Tahun 1975,
6. MARI, Himpunan Tanya Jawab Permasalahan Dan Paparan Pada rapat Kerja
Nasional MARI Dengan Jajaran Pengadilan pada 4 (empat) Lingkungan Peradilan
Seluruh Indonesia tahun 2007 dan tahun 2008,
7. Sayyid Sabiq, Fiqh as Sunnah,
8. W.J.S. Poerwadaminta, Kamus bahasa Indonesia.
9. A. Rafiq, Hukum Islam di Indonesia

No comments: